Jumat, 27 April 2012

TUGAS.1 HUKUM PERIKATAN

TUGAS.1  ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
NAMA  : MEGA SILVYA EKA NILASARI
NPM      : 24210314
KELAS    : 2 EB 21

Pengertian Hukum Perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut“ver bintenis ”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.

Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
.Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela

ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN

Dalam hukum perjanjian dapat dijumpai beberapa asas penting yang perlu diketahui. Asas- asas tersebut adalah seperti diuraikan dibawah ini:

1) system terbuka (open system), setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam Undang-undang. Sering disebut asas kebebasan bertindak.

2) Bersifat perlengkapan (optional), artinya pasal-pasal undang-undang boleh disingkirkan, apabila pihak yang membuat perjanjian menghendaki membuat perjanjian sendiri.

3) Bersifat konsensual, artinya perjanjian itu terjadi sejak adanya kata sepakat antara pihak-pihak.

4) Bersifat obligatoir, artinya perjanjian yang dibuat oleh pihak- pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik.
WANPRESTASI
Apabila si berhutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan “wanprestasi”. Ia adalah “alpa” atau “lalai” atau “bercidra-janji”. Atau juga ia “melanggar perjanjian”, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan “wanprestasi” berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi yang buruk.
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam :
a.       Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b.      Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c.       Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
d.      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai tadi ada empat macam, yaitu :
Pertama      : membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat     dinamakan ganti-rugi.
Kedua        : pembatalan perjanjian atau juga dinamakan “pemecahan” perjanjian.
Ketiga        : peralihan risiko.
Keempat    : membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di muka hakim.

CARA-CARA HAPUSNYA SUATU PERIKATAN
Pasal 1381 Kitab UU Hukum Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut :
1.      Pembayaran
Nama “pembayaran” dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara suka  rela. Dalam arti yang sangat luas ini, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak penjualpun dikatakan “membayar” jika ia menyerahkan atau “melever” barang yang dijualnya. Yang wajib membayar suatu utang bukan saja si berhutang (debitur) tetapi juga seorang penanggung hutang (“borg”).
Si debitur tidak boleh memaksa krediturnya untuk menerima pembayaran hutangnya sebagian demi  sebagian, meskipun hutang itu dapat dibagi-bagi.
“pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditetapkan dalam perjanjian, jika  dalam perjanjian tidak ditetapkan suatu tempat, maka pembayaran yang mengenai suatu barang tertentu, harus dilakukan di tempat di mana barang itu berada sewaktu perjajian dibuat.

2.      Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan penitipan
Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran.

3.      Pembaharuan hutang

4.      Perjumpaan hutang atau kompensasi
Ini dalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjuangkan atau memperhitungkan hutang-pihutang secara bertimbal balik antara kreditur dan debitur. Jika dua orang saling berhutang satu lain maka terjadilah antara mereka satu perjumpaan dengan mana antara kedua orang tersebut dihapuskan.

5.      Percampuran hutang
Apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang yang berhutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hokum suatu percampuran hutang dengan mana utang piutang itu dihapuskan.

6.      Pembebanan hutang
Teranglah, bahwa apabila si berpihutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berhutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian , maka perikatan – yaitu hubungan hutang-piutang – hapus, perikatan ini hapus karena pembebasan. Pembebasan sesuatu hutang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.

7.      Musnahnya barang yang terhutang
Jika barang tertentu yang menjadi obyek dari perjanjian masalah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang diluar kesalahan si berhutrang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

8.      Kebatalan/pembatalan
Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subyektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara :
a.       Secara aktif
b.      Secara pembelaan

9.      Berlakunya suatu syarat batal dan
Suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan dating dan masih belum tentu akan terjadi. Baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau terjadinya peristiwa tersebut.

10.  Lewatnya waktu
Menurut pasal 1946 Kitab UU Hukum Perdata, yang dinamakan “daliuwarsa” atau “lewat waktu” ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebankan dari suatu upaya  untuk memperolah sesuatu atau dibebankan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

Sumber-sumber:
4.      E-book Universitas Gunadarma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar